Selama ini seolah-olah ada dilema kepemimpinan perempuan dalam Islam. Di satu sisi adanya anggapan bahwa aktivitas perempuan paling baik adalah di rumah, mengurus suami dan anak, memasak dan aktivitas lain yang sifatnya domestik. Di sisi lain perempuan masa kini dituntut untuk aktif berkiprah di luar rumah. Apakah itu untuk bekerja, belajar, ataupun melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Oleh karena perempuan hanya tinggal dalam rumah saja, maka ia akan dianggap ketinggalan informasi, kurang wawasan dan dan kurang pergaulan. Dalam bidang kepemimpinan, terjadi kontroversi mengenai boleh tidaknya seorang wanita menjadi kepala negara/ presiden.
Wacana ratu Balqis dapat dijadikan renungan bagi bangsa Indonesia yang baru saja usai menyelenggarakan pemilihan umum 2004 beberapa tahun yang lalu. Pada waktu itu keberhasilan megawati meraih suara terbanyak sudah merupakan suatu kenyataan. Persoalan yang muncul ketika itu adalah bagaimana jika megawati terpilih menjadi seorang presiden? Pertanyaan ini mempunyai bobot yang sangat penting karena wacana konseptual mengenai kepemimpinan perempuan belum pernah tuntas di dalam lintasan sejarah dunia Islam. Banyak sekali perempuan kandidat pemimpin tetapi tercekal oleh isu agama. Tidak sedikit jumlah laki-laki kandidat pemimpin yang sebenarnya lebih lemah ‘tampak layak’ karena saingan terberatnya seorang perempuan.
Kemenangan PDI Perjuangan ini tak pelak lagi telah memompa optimisme di kalangan pendukung fanatik Megawati untuk meraih kursi kepresidenan. Bagi mereka, logikanya cuma satu: pemimpin partai pemenang pemilu mestilah menjadi presiden. Ditambah lagi dengan pernyataan-pernyataan para pengamat atau beberapa tokoh yang katanya non partisan, tapi dari pernyataan-pernyataannya tampak sekali kesan membela Mega, maka makin kentallah semangat untuk meng-golkan Mega ke tampuk kursi kepresidenan. Tapi segala keberatan yang diajukan baik itu dari sisi kapabilitas Megawati yang sangat diragukan maupun pandangan hukum Islam tentang larangan mengangkat wanita sebagai presiden, malah dituding sebagai rekayasa untuk menghalangi Mega. Keadaan inilah yang kini tengah mewarnai jagad perpolitikan Indonesia.
Agak ironis memang, ada yang terorbit dan ada yang tersungkur hanya disebabkan oleh faktor jenis kelamin. Tidak sedikit pula pemimpin perempuan (Sulthanah) harus berhenti di tengah jalan karena isu agama. Termasuk di antaranya tiga Sulthanah yang pernah memerintah secara berkesinambungan di Aceh pada abad ke-14, yaitu Sulthanah Khadijah, Sulthanah Maryam dan Sulthanah Fatimah akhrirnya harus terputus karena Fatwa Qadhi Mekah. Alasan fatwa itu adalah perempuan tidak ditolerir menjadi pemimpin Sulthanah karena dianggap menyalahi kodratnya sebagai perempuan.
sumber