Hadis yang sering dijadikan rujukan tentang larangan menjadi kepala negara bagi perempuan adalah sebuah hadis yang yang berbunyi:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
“... Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang”.
Hadis tersebut terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Shahih Bukhari, dan Sunan Nasa’i. Dari segi perawi hadis, para perawinya memiliki sifat dapat dipercaya, dalam menuturkan hadis itu dengan penerimanya.
Hadis tersebut dipahami sebagai isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik. Oleh karenanya, banyak ulama yang menyatakan seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah/ imam. Para ulama tersebut menanggapi hadis ini sebagai ketentuan yang bersifat baku-universal, tanpa melihat aspek-aspek yang terkait dengan hadis, seperti kapasitas diri Nabi SAW ketika mengucapkan hadis, suasana yang melatarbelakangi munculnya hadis, setting sosial yang melingkupi sebuah hadis. Padahal, segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi SAW dan suasana yang melatarbelakangi atau menyebabkan terjadinya hadis mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman hadis secara utuh.
Dalam memahami hadis tersebut, perlu dicermati terlebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis itu disabdakan atau harus dilihat latar belakang munculnya hadis di samping setting sosial pada saat itu. Oleh karena itu, dalam memahami dan mengkaji hadis ini mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya..
Sebenarnya jauh sebelum hadis tersebut muncul, yakni pada masa awal dakwa Islamiyah yang dilakukan oleh Nabi SAW ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu, Nabi SAW pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. Di antara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi SAW adalah Kisra Persia. Kisah pengiriman surat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Rasulullah telah mengutus Abdullah ibn Huzaifah al-Shami untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas dilakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Nabi Muhammad, Kisra menolak dan bahkan merobek-robek Surat Nabi. Menurut riwayat ibn al-Musayyab__setelah peristiwa tersebut sampai kepada Nabi__kemudian Nabi bersabda : "Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu". Tidak lama kemudian, kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H.
Tidak lama kemudian, kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga pada akhirnya diangkatlah anak perempuan yang bernama Buran. Sebagai pengganti ayahnya yang telah wafat ketika itu. Kemudian kerajaan Persia saat itu juga sedang dihadapkan pada tantangan yang berat, yaitu kerajaan Romawi yang menyerbu wilayah Persia dan berhasil menguasai beberapa daerah. Di samping situasi kerajaan kacau, diperkirakan Buran tidak memiliki kemampuan untuk memimpin kerajaan besar seperti Persia. Penuturan tentang kondisi Persia itu disampaikan oleh Abdullah bin Hadhafah yang baru pulang dari Persia. Ketika mendengar berita itu Rasulullah mengomentari melalui sabdanya:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً .
Di sini terlihat adanya peristiwa tertentu yang menyebabkan lahirnya hadis tersebut.
Lebih jauh, sejarah sosial bangsa Persia memperlihatkan bahwa pengangkatan perempuan sebagai kepala negara merupakan hal yang baru. Pada waktu itu, perempuan dianggap tidak cakap untuk menjadi seorang pemimpin politik. Hal ini tidak hanya berlaku di Persia tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Hadis ini muncul di tengah kondisi sosial dan politik yang tidak kondusif bagi seorang perempuan untuk memimpin suatu negara.
Dari segi setting sosial dapat dikuak bahwa menurut tradisi yang berlangsung di Persia sebelum itu, jabatan kepala negara (raja) dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 H tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja bukan laki-laki lagi, melainkan perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Hanya laki-laki-lah yang dipandang cakap dan mampu mengelola kepentingan masyarakat dan negara.
Dalam kondisi kerajaan Persia dan setting sosial seperti itulah, wajar Nabi SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera/ sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan dihormati oleh masyarakat, mungkin Nabi SAW yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan.Berkaitan dengan hadis kepemimpinan politik perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa Nabi SAW saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami bahwa pendapat Nabi SAW yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi') pada saat hadis tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Ada anggapan bahwa dalam literatur Islam klasik, dasar hukum tentang larangan lebih mudah ditemukan daripada sebaliknya. Tetapi, dalam sejarah awal Islam ada realitas bahwa Siti Aisyah, isteri baginda Nabi Muhammad Saw, memimpin pasukan perang melawan pasukan Ali bin Abi Thalib. Artinya, ada sejumlah sahabat Nabi Saw yang berada dalam pasukan Aisyah, mengakui kepemimpinan seorang perempuan. Dengan alasan demikian, dasar hukum larangan kepemimpinan perempuan bisa dikaji kembali.
Adanya perbedaan antara hadis yang melarang perempuan menjadi kepala negara dengan al-Qur’an yang memberikan contoh tentang kemampuan menjadi kepala negara yang super power, perlu disikapi dengan hati-hati. Menurut Syekh Ghazali, karena al-Qur’an derajatnya lebih tinggi daripada hadis, ayat al-Qur’an-lah yang dipegang sebagai pedoman.
Dengan demikian, hadis tentang pernyataan Nabi SAW dalam merespon berita pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persia tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara; namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi SAW yang menurut Nizar Ali memberikan peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama, boleh jadi hadis tersebut merupakan doa agar pemimpin Persia tersebut tidak berhasil karena sikapnya yang konfrontatif terhadap Islam. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Nabi SAW tentang realitas historis masyarakat yang tidak memungkinkan seorang pemimpin untuk menjadi seorang pemimpin.
Kata Muhibbin, hadis yang menginformasikan tentang kesukuan Quraisy tersebut sama sekali tidak dimaksudkan sebagai syarat mutlak bagi jabatan kepala negara yang ditetapkan oleh Nabi dan mengikat kepada umat secara abadi.
Juga menurut penulis, memaksakan hadis yang berbentuk ikhbar (informatif/berita) ke dalam masalah syari'ah terutama masalah kepemimpinan politik perempuan adalah tindakan yang kurang bijaksana dan kurang kritis serta tidak proporsional. Selain itu, jika hadis tersebut dipahami sebagai pesan dan ketentuan dari Nabi SAW yang mutlak mengenai syarat seorang pemimpin, maka akan terasa janggal, karena peristiwa sebagaimana yang ditunjukkan hadis tersebut tidak terjadi di dunia Islam, sehingga tidak mungkin Nabi SAW menyatakan ketentuan suatu syarat bagi pemimpin negara Muslim dengan menunjuk fakta yang terjadi di negara non Muslim.. Kalau hadis ini dipaksakan sebagai syarat bagi kepemimpinan politik, termasuk di negara non Muslim, maka selain tidak rasional (karena Nabi SAW ikut campur dalam urusan politik negara non Muslim) juga tidak faktual. Artinya penetapan syarat pemimpin harus laki-laki, maka bagaimana dengan negara Islam saat ini yang sebagian ada yang dipimpin oleh perempuan, namun tetap sukses seperti Pakistan, Turki, Indonesia dan lainnya). Berarti sabda Nabi SAW ini jelas bertentangan dengan fakta yang ada. Bahkan dalam al-Qur`an pun dijumpai kisah tentang adanya seorang perempuan yang memimpin negara dan meraih sukses besar, yaitu Ratu Bilqis di negeri Saba.
sumber